Dasar Mangrove
Pengertian Dasar Mangrove
Kata “mangrove” berkaitan sebagai tumbuhan tropis yang komunitas tumbuhnya didaerah pasang surut dan sepanjang garis pantai (seperti : tepi pantai, muara laguna (danau dipinggir laut) dan tepi sungai) yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut. Menurut FAO (1952) definisi mangrove adalah pohon dan semak – semak yang tumbuh dibawah ketinggian air pasang tertinggi.
Mangrove merupakan termasuk varietas yang besar dari famili tumbuhan, yang beradaptasi pada lingkungan tertentu. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan jenis mangrove menjadi 3 (tiga ) kelompok, yaitu : Kelompok Mayor, Kelompok Minor dan Kelompok Asosiasi Mangrove.
Habitat Mangrove
Sebagian pohon mangrove dijumpai disepanjang pantai terlindung yang berlumpur, bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai besar). Mangrove juga dapat tumbuh diatas pantai berpasir dan berkarang , terumbu karang dan di pulau – pulau kecil. Sementara itu air payau bukanlah hal pokok untuk pertumbuhan mangrove, mereka juga dapat tumbuh dengan subur jika terdapat persediaan endapan yang baik dan pada air tawar yang berlimpah.
Hutan mangrove dapat tersebar luas dan tumbuh rapat mulut sungai besar di daerah tropis, tetapi didaerah pesisir pantai pegunungan, hutan mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai yang terbatas dan sempit. Perluasan hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh topografi daerah pedalaman.
Ada hubungan yang erat antara kondisi air dengan vegetasi hutan mangrove. Di beberapa tempat, mangrove menunjukkan tingkatan zonasi yang nyata yang cenderung berubah dari tepi air menuju daratan. Namun kadang – kadang tergantung pada undulasi / tinggi rendahnya lantai hutan atau anak sungai di dalam area yang skemanya khusus dan menggambarkan keadaan umum dari dataran pasang surut
Luas dan Penyebaran Mangrove
Penyebaran beberapa spesies mangrove terdapat di sekitar ekuator antara 32 o LU dan 38 o LS, pada iklim A,B,C dan D dengan nilai Q yang bervariasi. Semakin jauh dari ekuator spesies mangrove semakin sedikit dan pohonnya semakin kecil. Lokasi mangrove paling utara adalah di bagian tenggara pulau Kyushu, Jepang, dimana hanya ditemukan satu spesies saja (Kandelia candel), sedangkan lokasi paling selatan adalah bagian utara Selandia Baru dimana hanya teridentifikasi satu spesies yaitu Avicenia marina.
Menurut Chapman (1975) penyebaran mangrove dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. The old worl mangrove, yang meliputi Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang, Filipina, Australia, Selandia Baru, Kepulauan Pasifik dan Samoa.
b. The new world mangrove, yang meliputi pantai Atlantik dan Afrika dan Amerika, Meksiko dan Pasifik Amerika dan Kepulauan Galapagos.
Perkiraan luas mangrove sangat beragam. FAO (1994) menyatakan bahwa luas hutan mangrove diseluruh dunia sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia (7.441.000 ha), Afrika ( 3.258.000 ha) dan Amerika (5,831.000 ha). Khusus di Indonesia yang merupakan Negara tropis berbentuk kepulauan dengan garis pantai lebih dari 81. 000 km, hutan mangrovenya seluas 4,25 juta ha (FAO/UNDP, 1982). Sedangkan menurut ISME *) berdasarkan citra landsat luas mangrove didunia sekitar 18,1 juta ha. Jenis – jenis mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan dimuara – muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda – beda tergantung pada kondisi habutatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang surut dan frekuensi penggenangan.
Di Indonesia diperkirakan terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jneis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku yang terbagi meknadi 2 kelompok yaitu mangrove sejati (true mangrove) dan mangrove ikutan (asociate) (M. Khazali, dkk. 1999)
Struktur Mangrove
Unsur dominan dalam hutan mangrove adalah pohon – pohon yang tumbuh dan tingginya mencapai lebih dari 30 meter, memiliki tajuk (canopy) lebar, rapat dan tertutup. Banyak juga species tumbuhan dan fauna lain yang atau eksklusif yang menempati hutan mangrove. Topografi setempat dan karakteristik hidrologi, tipe dan komposisi bahan kimia dari tanah dan pasang surut menentukan tipe ekosisitem mangrove yang dapat dibuktikan pada tempat – tempat tertentu.
Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana dan zonasi yang kompleks tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan.
Chapman (1984), mengelompokan mangrove menjadi 2 kategori yaitu :
a. Flora mangrove Inti, yaitu mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove yang terdiri dari jenis : Rhizophora, bruguiera, Ceriops, Kandelia, Soneratia, Avicenia, Nypa, Xylocarpus, Deris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, dan Dolichandron.
b. Flora mangrove pheripheral (pinggiran) yaitu flora mangrove secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalan formasi hutan lain. Jenisnya antara lain; Exoecaria agalloca, Acrosticum auerum, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tilliaceus
Tomlinson (1984) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu :
- Kelompok mayor
Komponen ini memperlihatkan karakteristik morfologi, seperti : sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponennya adalah pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi dihutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai kedalam komunitas daratan. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa
- Kelompok minor (tumbuhan pantai)
Dalam kelompok ini tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh – tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni.
- Kelompok asosiasi mangrove
Dalam komponen ini jarang ditemukan species yang tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh – tumbuhan darat.
Ciri Khas Mangrove
Karakteristik morfologi dari species mangrove terlihat pada setiap perakaran dan buahnya, yang merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan tempat tumbunya.
Sistem Akar
Tanah pada habitat mangrove adalah anaerob (hampa udara) bial berada dibawah air. Beberapa species memiliki sistem perakaran khusus yang disebut akar udara yang cocok untuk kondisi tanah yang anaerob.
Ada beberapa tipe perakaran udara yaitu : akar pasak, akar tunjang,, akar lutut dan akar papan (banir).
Akar udara membantu fungsi pertukaran gas dan menyimpan udara untuk pernafasan selama penggenangan.
Buah / Bibit
Semua species mangrove memproduksi buah yang biasanya disebarkan melalui air. Ada beberapa macam bentuk buah, seperti bentuk silinder, bulat dan berbentuk kacang.
- Benih Vivipar
Umumnya terdapat pada famili Rhizophoraceae (Rhizopora, Bruguiera, Ceriops dan Kandelia) buahnya berbentuk silinder (seperti tongkat), buahnya disebut bibit Viviparous.
- Benih Cryptovivipar
Avicennia (seperti buah kacang), Aegiceras (seperti silinder) dan Nypa buahnya berbentuk Cryploviviparous dimana bibitnya berkecambah tetapi diliputi oleh selaput buah (kulit buah) sebelum ditinggalkan dari pohon induknya.
- Benih Normal
Ditemukan pada spesies Sonneratia dan Xylocarpus buahnya berbentuk bulat seperti bola dengan benih normal. Species lain kebanyakan buah berbentuk kapsul, sebagai benih normal.
Buah tersebut mengalami proses dimana mereka memecah diri dan menyebarkan benihnya pada saat menvapai air.
Pertumbuhan Mangrove
Komponen mayor dan minor spesies mangrove tumbuh dengan baik tanpa dipengaruhi oleh kadar garam air. Namun jika air terlalu asin maka pohon mangrove tidak dapat tumbuh terlalu tinggi. Hal yang harus diperhatikan bahwa species mangrove dapat tumbuh lebih cepat pada air tawar daripada air yang mengandung garam (asin).
Melalui kelenjar garamnya, beberapa spesies mangrove menghasilkan sistem yang memungkinkan mereka untuk tumbuh pada kondisi berkadar garam tinggi. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegalitis dapat mengontrol keseimbangan garam denganmengeluarkan garam dari kelenjar tersebut (Tomlinson, 1986). Sebagian kelenjar garam terdapat dipermukaan daun yang tampak berkristal dan mudah diamati.
Spesies lain seperti Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan Lumnitzera dapat mengontrol keseimbangan garam dengan cara lain seperti dengan menggugurkan daun tua yang mengandung garam yang terakumulasi, atau dengan melakukan tekanan osmotic akar.
Struktur, fungsi ekosiste, komposisi dan distribusi spesies dan pola pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada factor-faktor lingkungan diantaranta ; Fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang/arus, salinitas oksigen terlarut, tanah, nutrient dan proteksi.
Kegunaan Mangrove
Berdasarkan kegunaan produk yang dihasilkan maka produk-produk ekosistem mangrove dikelompokkan menjadi 2 yaitu; produk langsung dan produk tidak langsung.
o Produk Langsung
Kayu merupakan hasil dari hutan mangrove, yang dapat digunakan untuk bahan bangunan, furniture, kapal atau perahu dan chip untuk pulp atau kertas. Batang kayu dari Rhizopora atau Bruguiera digunakan sebagai tiang dimana mereka mengandung sejumlah tanin yaitu zat penyamak yang kuat. Kayu dan arang mangrove banyak digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dinegara tropis. Arang mangrove memiliki kalori (panas) yang lebih tinggi dibandingkan dengan arang pada umumnya sehingga banyak diekspor kemancanegara termasuk Jepang dimana dinegara tersebut arang mangrove disebut “Nan-yo Bincho-tan” (arang selatan yang bagus)
Diwilayah yang kering dimana sedikit terdapat rumput dan pohon mangrove yang mempunyai daun yang berlimpah–limpah sepanjang tahun adalah sumber terpenting bagi makanan ternak keledai dan kambing
o Produk tidak langsung
Produk tidak langsung lebih banyak pada mengekploitasi potensi flora selain kayu dan faunanya, misalnya buah mangrove yang diolah menjadi makanan, pengamatan satwa burung, tempat rekreasi dan lain sebagainya.
Peranan Umum Mangrove
Hutan mangrove memainkan peranan penting dan memiliki beraneka fungsi secara umum seperti melindungi pantai dari gelombang yang tinggi, angin yang kencang dan erosi.
Hutan mangrove yang membentang sepanjang garis pantai berfungsi mencegah gelombang dan ombak yang tinggi akibat topan untuk melindungi penduduk dan rumah-rumah yang ada disekitarnya. Mangrove juga melindungi hasil panen penduduk disekitarnya dari kerusakan yang disebabkan tiupan angin laut yang kuat.
Daun mangrove tua dan cabang-cabangnya yang jatuh ketanah akan dihancurkan oleh mikroorganisme yang nantinya akan berfungsi sebagai sumber makanan bagi plankton. Plankton merupakan sumber makanan bagi anak udang, kepiting dan ikan yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi organisme besar yang hidup disekitar mangrove seperti ikan, burung dan binatang mamalia. Ini disebut rangtai makanan dimana mangrove mempunyai peranan penting dan sebagai kunci sumber utama penyediaan makanan.
Selama air pasang hutan mangrove menjadi bagian dari lautan. Ini merupakan keindahan dimana ikan dapat berkumpul karena banyaknya persediaan makanan. Kerapatan dari batang pohon mangrove dan akar tunjang juga merupakan tempat persembunyian terutama bagi anak iakan dan udang.
Hutan mangrove juga merupakan suatu keindahan alam bagi burung-burung diman meraka dapat menemukan makanan dan menjaga keturunannya.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa hutan mangrove dapat memberikan kondisikehidupan yang lebih baik dan berarti bagi fauna dan tidak saja sebagai produksi langsung tapi juga dapat menghasilkan sejumlah ikan, udang dan kepiting yang stabil.
Minggu, 10 Juni 2012
MANGROVE (BAKAU) SEBAGAI PENJAGA EKOSISTEM
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik . Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Kota-kota yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata (ekoturisme).
Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
2. Pelindung dari bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif.
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
10. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan. Hutan bakau dapat di jadikan sarana pendidikan dan penelitian sebagai ilmu pengetahuan.
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
12. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2087919-fungsi-dan-manfaat-hutan-bakau/#ixzz1xRnF1UrV
Mangrove mempunyai peranan ekologis, ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah pesisir. Kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi, intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Kota-kota yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata (ekoturisme).
Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
2. Pelindung dari bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif.
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
10. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan. Hutan bakau dapat di jadikan sarana pendidikan dan penelitian sebagai ilmu pengetahuan.
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
12. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2087919-fungsi-dan-manfaat-hutan-bakau/#ixzz1xRnF1UrV
Jumat, 08 Juni 2012
POTENSI BUAH MANGROVE jenis Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PANGAN
POTENSI BUAH MANGROVE SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PANGAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki dan pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat seperti yang diamanatkan oleh UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus terus dilakukan mengingat peran pangan sangat strategis, yaitu terkait dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga ketersediaanya harus dalam jumlah yang cukup, bergizi, seimbang, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 210 juta jiwa dengan laju 1.8 % per tahun (Pramudya, 2004) yang mengakibatkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk di seluruh wilayah pada setiap saat sesuai dengan pola makan dan keinginan bukanlah pekerjaan yang mudah karena pada saat ini fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk Indonesia bertumpu pada satu sumber karbohidrat yang dapat melemahkan ketahanan pangan dan menghadapi kesulitan dalam pengadaannya. Masalah pangan dalam negeri tidak lepas dari beras dan terigu yang ternyata terigu lebih adoptif daripada pangan domestik seperti gaplek, beras jagung, sagu atau ubijalar, meskipun di beberapa daerah penduduk masih mengkonsumsi pangan tradisional tersebut (Widowati, dkk., 2003).
Potensi sumber daya wilayah dan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memberikan sumber pangan yang beragam, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein maupun lemak sehingga strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya wilayah dan sumber pangan spesifik.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17,508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81,000 kilometer dan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar (Bengen, 2002). Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak bumi dan gas mineral serta jasa-jasa lingkungan (Dahuri dkk., 2001). Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8.60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar 5.30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis yaitu hasil kayu dan bukan kayu misalnya budidaya airpayau, tambak udang, pariwisata dan lainnya. Manfaat ekologis adalah berupa perlindungan bagi ekosistem daratan dan lautan, yaitu dapat menjadi penahan abrasi atau erosi gelombang atau angin kencang. Secara ekosistem berperan dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir baik secara fisik maupun biologis (Bandaranayake, 2005). Produk hutan mangrove yang sering dimanfaatkan manusia adalah kayu yang digunakan sebagai bahan bakar, bahan membuat perahu, tanin untuk pengawet jaring, lem, bahan pewarna kain dan lain-lain (Anonim, 2004).
Belum banyak pengetahuan tentang potensi dan manfaat mangrove sebagai sumber pangan. Penelitian yang dilakukan Mamoribo (2003) pada masyarakat kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan, kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove seperti di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum (kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi). Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen (Haryono, 2004). Begitu pula di sebagian wilayah Timor barat, Flores, Sumba, Sabu dan Alor, masyarakat menggunakan buah mangrove ini sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan (Fortuna, 2005). Masyarakat di kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, sudah terbiasa mengkonsumsi buah mangrove dan kacang hutan sebagai pangan lokal pada waktu tertentu.
Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), dan jagung (307 kalori per 100 gram). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram) (Fortuna, 2005).
Berdasar uraian diatas diantara sekian banyak buah mangrove yang cocok untuk dieksplorasi sebagai sumber pangan lokal baru adalah dari jenis Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini disebabkan karena spesies ini buahnya mengandung karbohidrat yang sangat tinggi. Spesies Bruguiera gymnorrhiza yang mempunyai nama lokal antara lain: lindur (Jawa dan Bali), kajang-kajang (Sulawesi), aibon (Biak) dan mangi-mangi (Papua), berbuah sepanjang tahun dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter. Saat berumur 2 tahun sudah produktif menghasilkan buah. Tumbuh pada lapis tengah antara Avicennia spp yang di tepi pantai dan Nypa fructicans yang berada lebih mendekati daratan. Tumbuh subur pada daerah sungai dan muara sungai di sepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah dan kering. Kulit kayu mempunyai permukaan halus sampai kasar, berwarna abu-abu sampai coklat kehitaman. Akarnya seperti papan melebar kesamping dibagian pangkal. Mempunyai sejumlah akar lutut. Daun berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hita, letak berlawanan, bentuk daun ellip ujung meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13 – 30 cm (Sadana, 2007).
Saat ini Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu jenis mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi hutan mangrove di kawasan pantai selatan Jawa Tengah terutama pantai Cilacap dan Kebumen dan sepanjang pantai utara Jawa tengah (Sukaryanto, 2006 dan Setyawan dkk., 2002).
Dalam bentuk alami, pemanfaatan B. gymnorrhiza yang selanjutnya kita sebut sebagai buah lindur untuk olahan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti buah-buahan hasil pertanian yang lainnya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan sehingga nantinya diharapkan lebih mudah dikenalkan pada masyarakat. Sebagai sumber pangan baru kami juga menganalisis kandungan Tanin dan HCN sebagai indikator keamanan pangannya. Karena tanin dan HCN dalam dosis tertentu bisa meracuni manusia.
Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg.
Perebusan dan perendaman disamping menginaktifkan enzim juga dapat mengurangi dan menghilangkan racun-racun yang ada pada buah lindur antara lain dari jenis tanin dan HCN. Dengan perendaman yang berulang daging buah lindur yang awalnya berwarna coklat tua berubah menjadi coklat muda. Kadar HCN setelah perebusan sebesar 0.72 mg setelah perendaman sebesar 0.504 mg Sedangkan kadar tanin setelah perebusan adalah 28,2 mg setelah perendaman sebesar 25.37 mg.
Kemampuan menyerap air tepung buah lindur mempunyai kisaran antara 125% – 145% hal ini berarti untuk membuat adonan 100 gram tepung buah lindur yang kalis diperlukan air sekitar 126 ml sampai dengan 145 ml. Kemampuan menyerap air ini menunjukkan seberapa besar air yang dibutuhkan oleh tepung untuk membentuk adonan yang kalis.
Kadar air tepung buah lindur yang dibuat dengan metoda langsung mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar air tepung buah lindur yang diproses dengan perendaman larutan pemutih. Hal ini terjadi karena perendaman dalam larutan pemutih menyebabkan air masuk sehingga kadar air pada awal pengeringan lebih tinggi dibandingkan dengan yang langsung dikeringkan. Kadar air tepung buah landur pada akhir pengeringan sebesar 11,6321% untuk penepungan langsung dan 12,1761% untuk penepungan dengan perendaman larutan pemutih. Data tersebut memperlihatkan bahwa kadar air tepung buah lindur telah memenuhi syarat mutu tepung yang dikeluarkan Departemen Perindustrian (SII) yaitu kadar air maksimum yang diperbolehkan sebesar 14%.
Rata-rata kadar lemak tepung buah lindur sebesar 3,2116% untuk penepungan langsung dan 3,0917% untuk penepungan dengan perendaman larutan pemutih. Biasanya lemak dalam tepung akan mempengaruhi sifat amilografinya. Lemak akan membentuk kompleks dengan amilosa yang membentuk heliks pada saat gelatinisasi pati yang menyebabkan kekentalan pati (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994).
Rata-rata hasil analisis protein tepung buah lindur sebesar 1,849% untuk penepungan langsung dan 1,4270% untuk tepung dengan perendaman dalam larutan pemutih. Hasil ini menunjukkan kadar protein buah lindur lebih besar dibandingkan dengan kadar protein tepung ubi kayu hasil penelitian Wirakartakusumah dan Febriyanti (1994) yang berkisar antara 0,7 – 1,2%.
Kadar abu Yang terdapat pada tepung dapat berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam buah lindur. Kadar abu dalam tepung buah lindur rata-rata sebesar 14014 % untuk penepungan langsung dan 2,6973% untuk penepungan yang menggunakan perendam larutan pemutih natrium metabisulfit.
Karbohidrat terdapat dalam jumlah dominan sebagai penyusun komposisi nilai gizi tepung buah lindur. Nilai rata-rata kadar karbohidrat sebesar 81,8904% untuk penepungan langsung dan 80,3763% untuk penepungan dengan perendaman dalam larutan pemutih. Kadar karbohidrat tepung buah mangrove yang melalui proses perendaman dalam larutan pemutih sedikit lebih rendah hal ini disebabkan ada sebagian karbohidrat yang berbentuk pati ikut terbuang bersama larutan perendam. Kadar karbohidrat yang tinggi pada tepung buah lindur menunjukkan tepung ini juga mempunyai nilai kalori tinggi sehingga bisa digunakan sebagai alternatif sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal. Untuk penelitian lebih lanjut bisa dihitung nilai kalorinya dengan menggunakan Bomb Kalorimeter.
Kadar serat kasar pada tepung buah lindur rata-rata sebesar 0,7371% untuk penepungan langsung dan 0,7575% untuk penepungan yang menggunakan larutan pemutih. Hasil ini telah memenuhi syarat mutu tepung berdasarkan SII yaitu sebesar 3%. Kadar serat yang tinggi pada tepung buah lindur dapat meningkatkan nilai tambahnya karena serat dalam bahan makanan mempunyai nilai positif bagi gizi dan metabolisme pada batas-batas yang masih bisa diterimaoleh tubuh yaitu sebesar 100 mg serat/kg berat badan/hari.
Kadar amilosa tepung buah lindur rata-rata sebesar 16,9126% untuk penepungan langsung dan 17,2771% untuk penepungan dengan menggunakan larutan pemutih. Dari hasil tersebut tepung singkong masuk kedalam golongan ”high amilose” karena mempunyai kandungan amilosa 10-30% (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994). Kadar amilosa ini mendekati kadar amilosa beras yaitu 17% (Haryadi, 1999).
Hasil analisis kadar tanin rata-rata sebesar 25,2507mg tanin untuk penepungan langsung dan 23,0167mg tanin untuk penepungan menggunakan larutan pemutih. Hasil ini sangat aman untuk kandungan tanin dalam bahan makanan karena nilai ADI tanin sebesar 560 mg/kg berat badan/hari. Kadar tanin yang tinggi menyebabkan rasa pahit pada bahan makanan. Senyawa ini bersifat karsinogenik apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih dan kontinyu (Sofro dkk., 1992).
HCN merupakan senyawa yang paling ditakuti untuk dimakan. Karena senyawa ini dalam dosis 0,5-3,5 mg/kg berat badan dapat mematikan manusia. Karena dalam tubuh mampu mengganggu enzim sitokrom-oksidase yang menstimulir reaksi pernafasan pada organisme aerobik. Hasil rata-rata analisis kadar HCN dalam tepung buah lindur sebesar 31,68 ppm untuk penepungan langsung dan 12,96 ppm untuk penepungan dengan perendaman menggunakan larutan pemutih. Hasil ini telah memenuhi syarat standar mutu kandungan HCN dalam tepung yaitu sebesar 50 ppm. Hasil uji statistik kadar HCN dalam tepung menunjukkan beda nyata antar dua perlakuan. Kadar HCN tepung buah lindur dengan menggunakan larutan pemutih lebih rendah karena dalam pengolahannya melalui proses yang lebih panjang yang bisa mengurangi atau menghilangkan HCN dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan karena HCN mempunyai sifat volatil, mudah menguap pada suhu rendah yaitu 260C sehingga senyawa ini sangat mudah dihilangkan melalui proses pengolahan. Kadar HCN dalam tepung buah lindur dalam batas yang sangat aman untuk dikonsumsi manusia.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa banyak spesies mangrove yang secara tradisional sudah dikonsumsi oleh masyarakat pesisir. Namun pemanfaatan mangrove sebagai bahan pangan hanya bersifat insidentil atau dalam keadaan darurat jika terjadi krisis pangan. Sebenarnya ada buah mangrove yang dapat secara spesifik di manfaatkan sebagai sumber pangan kaya karbohidrat yaitu dari spesies B. gymnorrhiza (lindur). Buah mangrove jenis lindur dapat dieksplorasi menjadi bahan pangan alternatif. Buah lindur yang diolah menjadi tepung kandungan gizinya terutama karbohidrat sangat dominan sehingga bisa dieksplorasi menjadi sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga bisa membudidayakan mangrove jenis lindur ini disepanjang garis pantai.
Tepung ini mempunyai derajat putih yang rendah tetapi justru dalam aplikasi untuk pengolahan pangan tidak dibutuhkan pewarna makanan. Secara alami buah lindur ini memberikan warna kecoklatan. Bisa dibentuk menjadi adonan yang kalis dan mempunyai kandungan amilosa hampir sama dengan beras yaitu sekitar 17%.
Tepung buah lindur yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria tepung yang bisa dikonsumsi. Kadar air, karbohidrat abu dan serat sudah memenuhi standar SII untuk tepung. Faktor pembatas buah lindur antara lain tanin dan HCN juga berkurang secara signifikan dengan pengolahan sehingga tepung buah lindur ini aman untuk dikonsumsi.
SARAN
Sebagai saran, bahwa buah mangrove jenis lindur sangat potensial untuk dijadikan sumber pangan kaya karbohidrat. Tetapi belum banyak masyarakat pesisir yang memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena belum banyak informasi mengenai cara pengolahan dan nilai gizinya. Populasinyapun belum tersebar merata diseluruh pesisir Indonesia terutama di pulau Jawa. Sehingga dalam program rehabilitasi mangrove yang sedang digalakkan saat ini sebaiknya spesies ini juga disertakan sehingga kedepannya ada manfaat ekonomis langsung dan masyarakat lebih terpacu untuk memeliharanya.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki dan pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat seperti yang diamanatkan oleh UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus terus dilakukan mengingat peran pangan sangat strategis, yaitu terkait dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga ketersediaanya harus dalam jumlah yang cukup, bergizi, seimbang, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 210 juta jiwa dengan laju 1.8 % per tahun (Pramudya, 2004) yang mengakibatkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk di seluruh wilayah pada setiap saat sesuai dengan pola makan dan keinginan bukanlah pekerjaan yang mudah karena pada saat ini fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk Indonesia bertumpu pada satu sumber karbohidrat yang dapat melemahkan ketahanan pangan dan menghadapi kesulitan dalam pengadaannya. Masalah pangan dalam negeri tidak lepas dari beras dan terigu yang ternyata terigu lebih adoptif daripada pangan domestik seperti gaplek, beras jagung, sagu atau ubijalar, meskipun di beberapa daerah penduduk masih mengkonsumsi pangan tradisional tersebut (Widowati, dkk., 2003).
Potensi sumber daya wilayah dan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memberikan sumber pangan yang beragam, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein maupun lemak sehingga strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya wilayah dan sumber pangan spesifik.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17,508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81,000 kilometer dan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar (Bengen, 2002). Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak bumi dan gas mineral serta jasa-jasa lingkungan (Dahuri dkk., 2001). Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8.60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar 5.30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis yaitu hasil kayu dan bukan kayu misalnya budidaya airpayau, tambak udang, pariwisata dan lainnya. Manfaat ekologis adalah berupa perlindungan bagi ekosistem daratan dan lautan, yaitu dapat menjadi penahan abrasi atau erosi gelombang atau angin kencang. Secara ekosistem berperan dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir baik secara fisik maupun biologis (Bandaranayake, 2005). Produk hutan mangrove yang sering dimanfaatkan manusia adalah kayu yang digunakan sebagai bahan bakar, bahan membuat perahu, tanin untuk pengawet jaring, lem, bahan pewarna kain dan lain-lain (Anonim, 2004).
Belum banyak pengetahuan tentang potensi dan manfaat mangrove sebagai sumber pangan. Penelitian yang dilakukan Mamoribo (2003) pada masyarakat kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan, kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove seperti di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum (kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi). Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen (Haryono, 2004). Begitu pula di sebagian wilayah Timor barat, Flores, Sumba, Sabu dan Alor, masyarakat menggunakan buah mangrove ini sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan (Fortuna, 2005). Masyarakat di kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, sudah terbiasa mengkonsumsi buah mangrove dan kacang hutan sebagai pangan lokal pada waktu tertentu.
Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), dan jagung (307 kalori per 100 gram). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram) (Fortuna, 2005).
Berdasar uraian diatas diantara sekian banyak buah mangrove yang cocok untuk dieksplorasi sebagai sumber pangan lokal baru adalah dari jenis Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini disebabkan karena spesies ini buahnya mengandung karbohidrat yang sangat tinggi. Spesies Bruguiera gymnorrhiza yang mempunyai nama lokal antara lain: lindur (Jawa dan Bali), kajang-kajang (Sulawesi), aibon (Biak) dan mangi-mangi (Papua), berbuah sepanjang tahun dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter. Saat berumur 2 tahun sudah produktif menghasilkan buah. Tumbuh pada lapis tengah antara Avicennia spp yang di tepi pantai dan Nypa fructicans yang berada lebih mendekati daratan. Tumbuh subur pada daerah sungai dan muara sungai di sepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah dan kering. Kulit kayu mempunyai permukaan halus sampai kasar, berwarna abu-abu sampai coklat kehitaman. Akarnya seperti papan melebar kesamping dibagian pangkal. Mempunyai sejumlah akar lutut. Daun berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hita, letak berlawanan, bentuk daun ellip ujung meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13 – 30 cm (Sadana, 2007).
Saat ini Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu jenis mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi hutan mangrove di kawasan pantai selatan Jawa Tengah terutama pantai Cilacap dan Kebumen dan sepanjang pantai utara Jawa tengah (Sukaryanto, 2006 dan Setyawan dkk., 2002).
Dalam bentuk alami, pemanfaatan B. gymnorrhiza yang selanjutnya kita sebut sebagai buah lindur untuk olahan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti buah-buahan hasil pertanian yang lainnya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan sehingga nantinya diharapkan lebih mudah dikenalkan pada masyarakat. Sebagai sumber pangan baru kami juga menganalisis kandungan Tanin dan HCN sebagai indikator keamanan pangannya. Karena tanin dan HCN dalam dosis tertentu bisa meracuni manusia.
Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg.
Perebusan dan perendaman disamping menginaktifkan enzim juga dapat mengurangi dan menghilangkan racun-racun yang ada pada buah lindur antara lain dari jenis tanin dan HCN. Dengan perendaman yang berulang daging buah lindur yang awalnya berwarna coklat tua berubah menjadi coklat muda. Kadar HCN setelah perebusan sebesar 0.72 mg setelah perendaman sebesar 0.504 mg Sedangkan kadar tanin setelah perebusan adalah 28,2 mg setelah perendaman sebesar 25.37 mg.
Kemampuan menyerap air tepung buah lindur mempunyai kisaran antara 125% – 145% hal ini berarti untuk membuat adonan 100 gram tepung buah lindur yang kalis diperlukan air sekitar 126 ml sampai dengan 145 ml. Kemampuan menyerap air ini menunjukkan seberapa besar air yang dibutuhkan oleh tepung untuk membentuk adonan yang kalis.
Kadar air tepung buah lindur yang dibuat dengan metoda langsung mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar air tepung buah lindur yang diproses dengan perendaman larutan pemutih. Hal ini terjadi karena perendaman dalam larutan pemutih menyebabkan air masuk sehingga kadar air pada awal pengeringan lebih tinggi dibandingkan dengan yang langsung dikeringkan. Kadar air tepung buah landur pada akhir pengeringan sebesar 11,6321% untuk penepungan langsung dan 12,1761% untuk penepungan dengan perendaman larutan pemutih. Data tersebut memperlihatkan bahwa kadar air tepung buah lindur telah memenuhi syarat mutu tepung yang dikeluarkan Departemen Perindustrian (SII) yaitu kadar air maksimum yang diperbolehkan sebesar 14%.
Rata-rata kadar lemak tepung buah lindur sebesar 3,2116% untuk penepungan langsung dan 3,0917% untuk penepungan dengan perendaman larutan pemutih. Biasanya lemak dalam tepung akan mempengaruhi sifat amilografinya. Lemak akan membentuk kompleks dengan amilosa yang membentuk heliks pada saat gelatinisasi pati yang menyebabkan kekentalan pati (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994).
Rata-rata hasil analisis protein tepung buah lindur sebesar 1,849% untuk penepungan langsung dan 1,4270% untuk tepung dengan perendaman dalam larutan pemutih. Hasil ini menunjukkan kadar protein buah lindur lebih besar dibandingkan dengan kadar protein tepung ubi kayu hasil penelitian Wirakartakusumah dan Febriyanti (1994) yang berkisar antara 0,7 – 1,2%.
Kadar abu Yang terdapat pada tepung dapat berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam buah lindur. Kadar abu dalam tepung buah lindur rata-rata sebesar 14014 % untuk penepungan langsung dan 2,6973% untuk penepungan yang menggunakan perendam larutan pemutih natrium metabisulfit.
Karbohidrat terdapat dalam jumlah dominan sebagai penyusun komposisi nilai gizi tepung buah lindur. Nilai rata-rata kadar karbohidrat sebesar 81,8904% untuk penepungan langsung dan 80,3763% untuk penepungan dengan perendaman dalam larutan pemutih. Kadar karbohidrat tepung buah mangrove yang melalui proses perendaman dalam larutan pemutih sedikit lebih rendah hal ini disebabkan ada sebagian karbohidrat yang berbentuk pati ikut terbuang bersama larutan perendam. Kadar karbohidrat yang tinggi pada tepung buah lindur menunjukkan tepung ini juga mempunyai nilai kalori tinggi sehingga bisa digunakan sebagai alternatif sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal. Untuk penelitian lebih lanjut bisa dihitung nilai kalorinya dengan menggunakan Bomb Kalorimeter.
Kadar serat kasar pada tepung buah lindur rata-rata sebesar 0,7371% untuk penepungan langsung dan 0,7575% untuk penepungan yang menggunakan larutan pemutih. Hasil ini telah memenuhi syarat mutu tepung berdasarkan SII yaitu sebesar 3%. Kadar serat yang tinggi pada tepung buah lindur dapat meningkatkan nilai tambahnya karena serat dalam bahan makanan mempunyai nilai positif bagi gizi dan metabolisme pada batas-batas yang masih bisa diterimaoleh tubuh yaitu sebesar 100 mg serat/kg berat badan/hari.
Kadar amilosa tepung buah lindur rata-rata sebesar 16,9126% untuk penepungan langsung dan 17,2771% untuk penepungan dengan menggunakan larutan pemutih. Dari hasil tersebut tepung singkong masuk kedalam golongan ”high amilose” karena mempunyai kandungan amilosa 10-30% (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994). Kadar amilosa ini mendekati kadar amilosa beras yaitu 17% (Haryadi, 1999).
Hasil analisis kadar tanin rata-rata sebesar 25,2507mg tanin untuk penepungan langsung dan 23,0167mg tanin untuk penepungan menggunakan larutan pemutih. Hasil ini sangat aman untuk kandungan tanin dalam bahan makanan karena nilai ADI tanin sebesar 560 mg/kg berat badan/hari. Kadar tanin yang tinggi menyebabkan rasa pahit pada bahan makanan. Senyawa ini bersifat karsinogenik apabila dikonsumsi dalam jumlah berlebih dan kontinyu (Sofro dkk., 1992).
HCN merupakan senyawa yang paling ditakuti untuk dimakan. Karena senyawa ini dalam dosis 0,5-3,5 mg/kg berat badan dapat mematikan manusia. Karena dalam tubuh mampu mengganggu enzim sitokrom-oksidase yang menstimulir reaksi pernafasan pada organisme aerobik. Hasil rata-rata analisis kadar HCN dalam tepung buah lindur sebesar 31,68 ppm untuk penepungan langsung dan 12,96 ppm untuk penepungan dengan perendaman menggunakan larutan pemutih. Hasil ini telah memenuhi syarat standar mutu kandungan HCN dalam tepung yaitu sebesar 50 ppm. Hasil uji statistik kadar HCN dalam tepung menunjukkan beda nyata antar dua perlakuan. Kadar HCN tepung buah lindur dengan menggunakan larutan pemutih lebih rendah karena dalam pengolahannya melalui proses yang lebih panjang yang bisa mengurangi atau menghilangkan HCN dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan karena HCN mempunyai sifat volatil, mudah menguap pada suhu rendah yaitu 260C sehingga senyawa ini sangat mudah dihilangkan melalui proses pengolahan. Kadar HCN dalam tepung buah lindur dalam batas yang sangat aman untuk dikonsumsi manusia.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa banyak spesies mangrove yang secara tradisional sudah dikonsumsi oleh masyarakat pesisir. Namun pemanfaatan mangrove sebagai bahan pangan hanya bersifat insidentil atau dalam keadaan darurat jika terjadi krisis pangan. Sebenarnya ada buah mangrove yang dapat secara spesifik di manfaatkan sebagai sumber pangan kaya karbohidrat yaitu dari spesies B. gymnorrhiza (lindur). Buah mangrove jenis lindur dapat dieksplorasi menjadi bahan pangan alternatif. Buah lindur yang diolah menjadi tepung kandungan gizinya terutama karbohidrat sangat dominan sehingga bisa dieksplorasi menjadi sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga bisa membudidayakan mangrove jenis lindur ini disepanjang garis pantai.
Tepung ini mempunyai derajat putih yang rendah tetapi justru dalam aplikasi untuk pengolahan pangan tidak dibutuhkan pewarna makanan. Secara alami buah lindur ini memberikan warna kecoklatan. Bisa dibentuk menjadi adonan yang kalis dan mempunyai kandungan amilosa hampir sama dengan beras yaitu sekitar 17%.
Tepung buah lindur yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria tepung yang bisa dikonsumsi. Kadar air, karbohidrat abu dan serat sudah memenuhi standar SII untuk tepung. Faktor pembatas buah lindur antara lain tanin dan HCN juga berkurang secara signifikan dengan pengolahan sehingga tepung buah lindur ini aman untuk dikonsumsi.
SARAN
Sebagai saran, bahwa buah mangrove jenis lindur sangat potensial untuk dijadikan sumber pangan kaya karbohidrat. Tetapi belum banyak masyarakat pesisir yang memanfaatkannya. Hal ini disebabkan karena belum banyak informasi mengenai cara pengolahan dan nilai gizinya. Populasinyapun belum tersebar merata diseluruh pesisir Indonesia terutama di pulau Jawa. Sehingga dalam program rehabilitasi mangrove yang sedang digalakkan saat ini sebaiknya spesies ini juga disertakan sehingga kedepannya ada manfaat ekonomis langsung dan masyarakat lebih terpacu untuk memeliharanya.
Kamis, 07 Juni 2012
SEDIKIT KETERANGAN TENTANG MANGROVE (BAKAU)
Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macneae, 1968). Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Adapun menurut Aksornkoe (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Hutan mangrove adalah yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Hutan mangrove dicirikan oleh tumbuhan dari 9 (sembilan) genus (Avicennia, Sueda, Laguncularia, Lumnitzera, Xylocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Sonneratia), memiliki akar napas (pneumatofor), adanya zonasi (Avicennia/ Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), tumbuh pada substrattanah berlumpur/berpasir dan variasinya, dengan kadar salinitasyang bervariasi (Nybakken,1982).
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Adapun menurut Aksornkoe (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Hutan mangrove adalah yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Hutan mangrove dicirikan oleh tumbuhan dari 9 (sembilan) genus (Avicennia, Sueda, Laguncularia, Lumnitzera, Xylocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Sonneratia), memiliki akar napas (pneumatofor), adanya zonasi (Avicennia/ Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), tumbuh pada substrattanah berlumpur/berpasir dan variasinya, dengan kadar salinitasyang bervariasi (Nybakken,1982).
Rabu, 06 Juni 2012
SALAH SATU MANFAAT MANGROVE (BAKAU) BAGI MANUSIA
Potensi Buah Mangrove Sebagai Alternatif Sumber Pangan
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8.60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar 5.30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis yaitu hasil kayu dan bukan kayu misalnya budidaya airpayau, tambak udang, pariwisata dan lainnya. Manfaat ekologis adalah berupa perlindungan bagi ekosistem daratan dan lautan, yaitu dapat menjadi penahan abrasi atau erosi gelombang atau angin kencang. Secara ekosistem berperan dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir baik secara fisik maupun biologis (Bandaranayake, 2005).
Belum banyak pengetahuan tentang potensi dan manfaat mangrove sebagai sumber pangan. Penelitian yang dilakukan Mamoribo (2003) pada masyarakat kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan, kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa
masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove seperti di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum (kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi). Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen (Haryono, 2004). Begitu pula di sebagian wilayah Timor barat, Flores, Sumba, Sabu dan Alor, masyarakat menggunakan buah mangrove ini sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan (Fortuna, 2005).
Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), dan jagung (307 kalori per 100 gram). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram) (Fortuna, 2005).
Dalam bentuk alami, pemanfaatan B. gymnorrhiza yang selanjutnya kita sebut sebagai buah lindur untuk olahan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti buah-buahan hasil pertanian yang lainnya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan sehingga nantinya diharapkan lebih mudah dikenalkan pada masyarakat. Sebagai sumber pangan baru kami juga menganalisis kandungan Tanin dan HCN sebagai indikator keamanan pangannya. Karena tanin dan HCN dalam dosis tertentu bisa meracuni manusia.
Karbohidrat terdapat dalam jumlah dominan sebagai penyusun komposisi nilai gizi tepung buah lindur. Nilai rata-rata kadar karbohidrat sebesar 81,8904% untuk penepungan langsung dan 80,3763% untuk penepungan dengan perendaman dalam larutan pemutih. Kadar karbohidrat tepung buah mangrove yang melalui proses perendaman dalam larutan pemutih sedikit lebih rendah hal ini disebabkan ada sebagian karbohidrat yang berbentuk pati ikut terbuang bersama larutan perendam. Kadar karbohidrat yang tinggi pada tepung buah lindur menunjukkan tepung ini juga mempunyai nilai kalori tinggi sehingga bisa digunakan sebagai alternatif sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal. Untuk penelitian lebih lanjut bisa dihitung nilai kalorinya dengan menggunakan Bomb Kalorimeter.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa buah mangrove juga punya manfaat sebagai sumber pangan alternatif masa depan sebagai pengganti beras lho….
Sumber : http://kesematindonesia.wordpress.com/2009/05/17/potensi-buah-mangrove-sebagai-alternatif-sumber-pangan/
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove (hutan bakau) terbesar di dunia, yaitu mencapai 8.60 juta hektar, meskipun saat ini dilaporkan sekitar 5.30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004). Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekonomis yaitu hasil kayu dan bukan kayu misalnya budidaya airpayau, tambak udang, pariwisata dan lainnya. Manfaat ekologis adalah berupa perlindungan bagi ekosistem daratan dan lautan, yaitu dapat menjadi penahan abrasi atau erosi gelombang atau angin kencang. Secara ekosistem berperan dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir baik secara fisik maupun biologis (Bandaranayake, 2005).
Belum banyak pengetahuan tentang potensi dan manfaat mangrove sebagai sumber pangan. Penelitian yang dilakukan Mamoribo (2003) pada masyarakat kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan, kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa
masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove seperti di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum (kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi). Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur dikonsumsi dengan cara mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen (Haryono, 2004). Begitu pula di sebagian wilayah Timor barat, Flores, Sumba, Sabu dan Alor, masyarakat menggunakan buah mangrove ini sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan (Fortuna, 2005).
Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), dan jagung (307 kalori per 100 gram). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram) (Fortuna, 2005).
Dalam bentuk alami, pemanfaatan B. gymnorrhiza yang selanjutnya kita sebut sebagai buah lindur untuk olahan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti buah-buahan hasil pertanian yang lainnya buah lindur ini akan menjadi cepat busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah lindur karena dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah lindur sehingga menjadi lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan pada berbagai jenis olahan pangan sehingga nantinya diharapkan lebih mudah dikenalkan pada masyarakat. Sebagai sumber pangan baru kami juga menganalisis kandungan Tanin dan HCN sebagai indikator keamanan pangannya. Karena tanin dan HCN dalam dosis tertentu bisa meracuni manusia.
Karbohidrat terdapat dalam jumlah dominan sebagai penyusun komposisi nilai gizi tepung buah lindur. Nilai rata-rata kadar karbohidrat sebesar 81,8904% untuk penepungan langsung dan 80,3763% untuk penepungan dengan perendaman dalam larutan pemutih. Kadar karbohidrat tepung buah mangrove yang melalui proses perendaman dalam larutan pemutih sedikit lebih rendah hal ini disebabkan ada sebagian karbohidrat yang berbentuk pati ikut terbuang bersama larutan perendam. Kadar karbohidrat yang tinggi pada tepung buah lindur menunjukkan tepung ini juga mempunyai nilai kalori tinggi sehingga bisa digunakan sebagai alternatif sumber pangan baru berbasis sumber daya lokal. Untuk penelitian lebih lanjut bisa dihitung nilai kalorinya dengan menggunakan Bomb Kalorimeter.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa buah mangrove juga punya manfaat sebagai sumber pangan alternatif masa depan sebagai pengganti beras lho….
Sumber : http://kesematindonesia.wordpress.com/2009/05/17/potensi-buah-mangrove-sebagai-alternatif-sumber-pangan/
Langganan:
Postingan (Atom)